EMANSIPASI WANITA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh Nur Sulistiyaningsih
Emansipasi
wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi
yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk
berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh
Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu
mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah
ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan
mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak
Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah
menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus
disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik
mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum
islam.
Islam
sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian
yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik
sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu
pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam
surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan,
peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang : Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Kedua, Bidang Sosial ,
terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara
mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat
sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut.
Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita,
usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi
seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan
cinta, kasih dan penghormatan. Ketiga, Bidang
Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna
dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada
seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala
keluarga.
Secara
lebih rinci, Penulis akan menjelaskan mengenai hukum islam yang
mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan sebagai tuntutan
persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai
berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan
wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam
QS. Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim,
laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala
yang besar”.
Orang
muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti
perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud
orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus
dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa
kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah
iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan
dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam
QS. An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati,
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”.
Pemberian
itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain
dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh,
memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat
dalam QS. An-Nisa’ : 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan,
dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah
Maha MEngetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan
Kedudukan
wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ :
7, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
4. Hak
dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama dapat dilihat
dalam QS Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda
karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11 QS
An-Nisa : 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab
antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi
penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi
penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Berdasarkan
dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa
islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang
paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita
merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat secara umum.
Apabila mereka baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik.
Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh,
apabila seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama, hukum dan
syari’at Allah, niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi
baru yang tangguh dan berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin,
menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita
dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan
kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaiman
yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat : 33. Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya) :
“Barangsiapa
yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Dalih
emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan
wanita telah semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan
sebagai peluang dan jembatan emas bagi musuh-musuh Islam dari kaum
feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini
sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi”
adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak
wanita Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk
pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini
sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita
muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di
rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat
dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang
bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku)
dan penghambat kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju,
harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas
berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan
ajaran islam.
Sudah
merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja
semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan
dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada
kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi
sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti
kualitas spiritual dan akhlaknya.
Para
pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara
pria dan wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan
(emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan pelbagai
perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada
sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding
tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka
emansipasi berarti "mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang
gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya harus merujuk kembali
kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara pria
dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu,
tetap dapat bertindak obyektif dan adil.
Perlu
ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama
ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang
berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian
disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih
menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian
seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan
wanita dan pria adalah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi
ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah
tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
Islam
didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan
kesempatan kepada kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan
bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding
dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy,
Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di
dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan
mendapatkan hak-hak politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah
ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah : 7 yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kata Auliya’,
yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup
kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh
untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal
tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha
perbaikan kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik)
kepada penguasa. Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.
Jadi,
pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai
aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga
harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan
emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan
kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh
konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi
kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan mengetahui
posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai
ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam
tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga
menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak
yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.
SUMBER: http://cahayatheprinces.blogspot.com/2012/01/emansipasi-wanita-dalam-perspektif.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar