Jumat, 03 Mei 2013

yahoo.co.id

HARDIKNAS

Hari kartini yanf jatuh setiap tanggal 21 April dan Hari pendidikaan nasional jatuh pada 2 mei,kami guru-guru paud memperingatinya dengan cara mengadakan lomba mewarnai paud/kober/tk sekecamatandan dihadiri oleh ibu bupati bandung barat bu hj.elin abu bakar.
acara dilaksanakan pada tanggal 30 APRIL,
alhamdulilah acara berjalan lancar dan meriah



Jumat, 12 April 2013

ISLAM MENGAJARKAN KEADILAN BUKAN PERSAMAAN DALAM SEGALA HAL
Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Hafizhahullah

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
(QS.An-Nisaa:34)
Penjelasan beberapa mufradat ayat
(قوامون) : Qawwamun adalah jamak dari qawwam, yang semakna dengan katta qoyyim, yang berarti pemimpin, pembesar, sebagai hakim dan pendidik, yang bertanggung jawab atas pengaturan sesuatu. Namun kata “qawwam” itu memiliki arti yang lebih dari “qayyim”.
(lihat: Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Baghawi).

Ibnu Abbas dalam menjelaskan ayat ini berkata: “qawwam” artinya pemimpin, dimana wajib atas seorang istri taat kepadanya terhadap apa yang Allah perintahkan padanya untuk taat kepada suami,dan mentaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya,dan menjaga hartanya.
(tafsir At-Thabari).
(بما أنفقوا من أموالهم) : “dengan apa yang mereka nafkahkan dari harta-harta mereka”, mencakup semua jenis nafkah yang Allah wajibkan kepada kaum lelaki untuk kaum wanita didalam Al-kitab dan As-Sunnah, baik berupa mahar pernikahan, berbagai macam nafkah dalam keluarga, dan beban-beban lainnya.
(قانتات) : Maknanya adalah wanita-wanita yang ta’at kepada suaminya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya. (tafsir Ibnu Katsir)
(حافظات للغيب) : yaitu para wanita yang senantiasa memelihara suaminya, dengan cara memelihara kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya.
(بما حفظ الله) : yang terpelihara adalah yang dijaga oleh Allah U.
PENJELASAN AYAT
Berkata Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah Ta’ala:
“(Allah) Ta’ala mengabarkan bahwa kaum lelaki itu pemimpin atas kaum wanita, yaitu menjadi penegak atas mereka dalam memerintahkan mereka untuk melaksanakan hak-hak Allah Subhaanahu wata’ala, agar memelihara kewajiban-kewajiban, dan mencegah mereka dari berbagai kerusakan. Maka kaum lelaki wajib memerintahkan kaum wanita dengan hal tersebut, dan menjadi penegak atas mereka juga dalam hal memberi nafkah kepada mereka, memberi pakaian, tempat tinggal. Kemudian Allah menyebutkan sebab yang yang mengharuskan kaum lelaki mengurusi para wanita, maka Dia berfirman “dengan apa yang telah Allah utamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan dengan apa yang mereka beri nafkan dari harta-harta mereka”, yaitu dengan sebab keutamaan kaum lelaki diatas kaum wanita, dan diberikannya kelebihan atas mereka.
Maka diutamakannya kaum lelaki diatas kaum wanita dari berbagai sisi: dari sisi memegang kepemimpinan dalam negara hanya dikhususkan bagi kaum lelaki, kenabian, kerasulan, dikhususkannya mereka dalam sekian banyak dari perkara ibadah seperti berjihad, melaksanakan (shalat) hari raya dan jum’at. Dan dengan apa yang Allah khususkan kepada mereka dari akal, ketenangan, kesabaran, kekuatan yang mana para wanita tidak memiliki yang semisal itu. Demikian pula mereka dikhususkan dalam memberi nafkah kepada istri-istri mereka, bahkan kebanyakan dari pemberian nafkah tersebut khusus menjadi tanggung jawab kaum lelaki, dan ini yang membedakan mereka dari kaum wanita. Dan mungkin ini rahasia dari firman-Nya “dengan apa yang mereka memberi nafkah …” dan objeknya dihapus (tidak disebutkan), untuk menunjukkan keumuman nafkah. Maka diketahuilah dari ini semua bahwa seorang laki-laki berkedudukan seperti pemimpin, tuan dihadapan istrinya. Dan istri dihadapan suami bagaikan tawanan dan pelayannya, maka tugas seorang lelaki adalah menegakkan apa yang telah Allah berikan kepadanya berupa tanggung jawab pemeliharaan. Sedangkan tugas wanita adalah ta’at kepada Rabb-nya, ta’at kepada suaminya. Oleh karena itu , Allah berfirman:
“wanita-wanita yang shalihah, dan yang tunduk”, yaitu ta’at kepada Allah Subhaanahu wata’ala, “memelihara diri disaat ghaib”, yaitu senantiasa ta’at kepada suami-suaminya walaupun disaat suami tidak disisinya, memelihara suaminya dengan menjaga diri dan hartanya. yang demikian itu adalah bentuk pemeliharaan Allah terhadap mereka, dan Allah memberi taufiq kepada mereka, bukan dari jiwa mereka sendiri, sebab jiwa tersebut selalu memerintahkan kepada keburukan, namun siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah memberi kecukupan padanya dengan apa yang dia butuhkan dari perkara agamanya dan dunianya.”
(Tafsir taisir al-karim arrahman)
Islam adalah Agama yang mengajak kepada keadilan, Bukan mengajak kepada persamaan dalam segala hal
Didalam ayat ini menjelaskan bahwa kaum lelaki memiliki perbedaan dengan kaum wanita, dan Allah memberikan kelebihan kepada kaum lelaki dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Didalam ayat yang lain,Allah berfirman:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
(QS.Al-baqarah:228)
Oleh karena itu, islam memerintahkan untuk memberikan kepada masing-masing yang memiliki hak haknya,dan inilah yang disebutkan keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal, namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempatnya yang selayaknya dan semestinya, dan menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syari’at-Nya.Allah memerintahkan kepada keadilan, dan bukan kepada persamaan antara sesama manusia dalam segala hal.Firman-Nya:
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
(QS. An-Nisaa:58)
Dan firman-Nya:
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(QS.Al-maidah:8)
Dan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ini sangat banyak sekali. sedangkan persamaan antara sesama manusia bukanlah ajaran islam, bahkan islam senantiasa menyebutkan perbedaan antara satu dengan yang lainnya, sesuai standar syari’ah dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Allah membedakan antara yang muslim dan yang kafir, yang ta’at dan yang berbuat kemaksiatan, dalam firman-Nya:
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Tidak sama antara para penghuni neraka dengan para penghuni surga, para penghuni surga itulah yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-hasyr: 20)
dan firman-Nya:
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? “Atau pantaskah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat?”
(QS.Shaad:28)
Allah juga membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu,dalam firman-Nya:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu orang musyrik) yang lebih beruntung ataukah orang y ang beribadah pada malam hari yang sujud dan berdiri, karena takut kepada (adzab) akhirat danmengharapkan rahmat Tuhan-Nya? Katakanlah, “Apakah sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakal sehat yang mampu menerima pelajaran”.
(QS.Az-Zumar: 9)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang adanya perbedaan kedudukan masing-masing manusia dan tidak menyamakan antara mereka. Bahkan Rasulullah Saallallohu ‘alaihi wasallam, mengingkari Dzulkhuwaishirah yang menginginkan agar pembagian harta rampasan perang dilakukan secara merata, dan menganggap bahwa hal tersebut termasuk keadilan. Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radiyallohu ‘anhu, dimana beliau berkata: tatkala Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, sedang membagi harta berupa emas, maka datanglah Abdullah bin dzilkhuwaishirah At-Tamimi lalu berkata: berbuat adil-lah engkau wahai Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, menjawab: celaka engkau, siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Maka berkata Umar: izinkan aku untuk memenggal lehernya. Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, menjawab: biarkan dia, karena sesungguhnya dia memiliki pengikut yang salah seorang kalian menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka, puasanya dibandingkan puasa mereka, mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.”
(HR.Bukhari:6534)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa tatkala Ali bin Abi Thalib radiyallohu ‘anhu datang dari negeri Yaman dengan membawa emas yang masih bercampur tanah, lalu Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, membaginya untuk empat orang: Uyainah bin Hisn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-khail, yang keempat apakah Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin At-Thufail.Lalu datanglah Dzulkhuwaishirah tersebut……”
(HR.Muslim:1064)
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, tidak membagi rata apa yang beliau dapatkan dari harta tersebut, namun Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam memberikan kepada mereka yang belihat pandang lebih mendatangkan kemaslahatan untuk diri orang tersebut. Didalam hadits yang lain beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
Wahai Sa’ad, sesungguhnya aku memberikan (harta) kepada seseorang,padahal yang lain aku lebih cinta kepadanya daripada orang yang kuberi tersebut, karena aku khawatir orang tersebut dilemparkan Allah ke dalam neraka.”
(HR.Bukhari (27),Muslim (150))
Demikian pula halnya antara kaum lelaki dan wanita, Allah Subhaanahu wata’ala, memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka, dengan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at. Sebab, menyamakan antara lelaki dan wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan fitrah dan syariat. Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka sudah berbeda, diantaranya:
- Wanita memiliki bentuk tubuh dan jenis kelamin yang berbeda dengan kaum lelaki
- Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki
- Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki
- Wanita mengalami masa haid, tidak bagi kaum lelaki
Dan masih banyak lagi perbedaan diantara keduanya.
Maka dari itulah,Allah azza wajalla, yang Maha mengetahui kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada posisinya masing-masing. Diantara perbedaan antara keduanya dari sisi syariat adalah:
- Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki
- Wanita dianjurkan tinggal dirumahnya dan tidak keluar dengan bertabarruj, tidak demikian halnya kaum lelaki
- Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi yang lemah dari para wanita
- Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita
Dan yang lainnya dari perbedaan yang telah ditetapkan Allah azza wajalla, yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.

Lelaki Adalah Pemimpin Dalam Bernegara dan Berumah Tangga
Ayat Allah Subhaanahu wata’ala, yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan seorang wanita adalah adalah berada dibawah perlindungan dan pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu, seorang wanita tidak diperbolehkan diberi tanggung jawab sebagai pemimpin yang membawahi kaum lelaki, sebab hal tersebut bertentangan dengan keadaan penciptaan wanita itu sendiri yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, yang dapat mengantarkan kepada timbulnya kerusakan dan kehancuran. Didalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dari hadits Abu Bakrah radiyallohu ‘anhu, berkata: tatkala sampai berita kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia mengangkat sebagai pemimpin yang memimpin mereka adalah seorang anak wanita Kisra[1] (gelar raja Persia), maka beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
“tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita”
(HR.Bukhari,kitab Al-Maghazi,bab:kitabun Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam ilaa Kisra wa Qaishar:7/4425,bersama al-fath)
Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan hadits ini: berkata Al-Khattabi: dalam hadits menuunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan dan qadha’.
(fathul Bari:7/735)
Dan tidak ada perselisihan dikalangan para ulama tentang tidak diperbolehkannya kaum wanita menjadi memimpin Negara.
(lihat penukilan kesepakatan tersebut dalam kitab: Adhwa’ul bayan,Asy-Syinqithi: 1/75, Al-Qurthubi dalam tafsirnya menukil dari Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi:13/183,Ahkamul Qur’an ,Ibnul Arabi:3/482)
Demikian pula dalam hal berumah tangga, seorang suami adalah pemimpin dan penanggung jawab terhadap rumah tangganya. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Umar radiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فمسؤول عن رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الذي على الناس رَاعٍ وهو مسؤول عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ على أَهْلِ بَيْتِهِ وهو مسؤول عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ على بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مسؤولة عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ على مَالِ سَيِّدِهِ وهو مسؤول عنه ألا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مسؤول عن رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemelihara, maka dia bertanggung jawab atas apa yang dia pelihara. Seorang imam adalah pemelihara atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas mereka, seorang lelaki adalah pemelihara atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemelihara terhadap rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemelihara atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atasnya. ketahuilah, setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipeliharanya.”
(HR.Muttafaqun alaihi)
Akan tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan berarti kedudukan wanita didalam islam tersebut rendah, sebab yang menjadi standar kemuliaan seseorang disisi Allah Azza wajalla, adalah ketaqwaan. Apabila seorang wanita senantiasa ta’at kepada Allah Subhaanahu wata’ala, ta’at kepada suami, memelihara kehormatan diri, menjaga harta suami disaat ia ditinggal, maka dia akan mendapatkan jaminan syurga yang tidak didapatkan oleh kebanyakan kaum lelaki yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah azza wajalla, Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إذا صلت المرأة خمسها و صامت شهرها و حصنت فرجها و أطاعت زوجها قيل لها  :  ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت
Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa dibulan ramadhan, memelihara kemaluannya, dan ta’at kepada suaminya. Maka dikatakan kepadanya: masuklah engkau kedalam syurga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”
(HR.Ibnu Hibban dari Abu Hurairah t.Dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih al-jami’:660).

[1] Wanita ini bernama Buuraan Bintu Syirawaih bin Kisra,disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil dari Ibnu Qutaibah . (fathuul Bari:7/735) Sumber : http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92:bahaya-emansipasi-wanita&catid=38:tafsir

hari sabtu jam 10:56
sumber :  http://kaahil.wordpress.com/2010/04/14/isu-gender-kenapa-wanita-minta-disejajarkan-dengan-lelaki-keadilan-bukan-berarti-persamaan-dalam-segala-hal/

EMANSIPASI, PENYETARAAN GENDER & BUDAYA PERMISIVISME : Wujud Seruan Kekufuran Yahudi dan Nasrani

 
 
 
 
 
 
Rate This

Emansipasi Atau Deislamisasi

Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin
Emansipasi sejatinya hanyalah salah satu jalan yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempreteli bahkan mengubur syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur`an dan hadits ditelikung, dipahami sepotong-sepotong, untuk kemudian ditafsirkan secara sembrono. Syariat bahkan dianggap sebagai ajaran lama yang perlu direkonstruksi atau dikontekstualisasikan. “Ahli” tafsir dan hadits yang menjadi rujukan, siapa lagi kalau bukan kalangan akademisi Barat. Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap wanita. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum wanita. Kehidupan wanita seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian wanita pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman.
Di tengah kepungan kemelut, wanita pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan nasibnya. Maka, lamat-lamat teriakan itu terus bergulir. Menggelinding bak bola salju. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pun ikut berbicara. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah, ia menguak sejarah kelam kehidupan wanita di belahan Eropa, terkhusus Perancis. Dituturkan bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Mereka menyuarakan kesetaraan jender. Menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria. Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatari perlakuan sewenang-wenang berbagai pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi guna. Setelah aksi para wanita Perancis, 6 Oktober 1789, di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan. Menjamurnya berbagai organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi pun makin membahana.
Dari kacamata sejarah, gerakan emansipasi kelahirannya berawal dari akibat rasa ‘frustrasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan gereja oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Inilah yang dikenal dalam lintasan sejarah sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan). Masa itu merupakan masa ‘rame-rame’ menggoyang arogansi gereja.
Begitulah awal lahir gerakan emansipasi. Kini, emansipasi telah menjadi bara di mana-mana. Semangat untuk menyetarakan diri dengan kaum Adam sedemikian dahsyat. Hingga melupakan batas-batas kesejatian diri sebagai kaum Hawa. Seakan tak mau peduli, bahwa antara wanita dan pria memiliki beragam perbedaan. Entah perbedaan yang bersifat psikis (kejiwaan), emosional, atau yang berkenaan dengan struktur fisik. Lantaran arus deras gerakan emansipasi, hal-hal mendasar seperti di atas menjadi terabaikan. Maka, gerakan emansipasi yang telah digulirkan menjadi alat perusak masyarakat. Perjuangan untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, menjadi perjuangan untuk menggerus sistem sosial yang ada. Ironisnya, sebagian kaum muslimah terprovokasi gerakan ini. Tanpa memahami latar belakang sejarah gerakan emansipasi, mereka ikut-ikutan meneriakkan persamaan hak. Yang lebih tragis, mereka menuntut persamaan hak dalam setiap sisi aturan agama. Bahkan, untuk menjadi khatib Jum’at pun mereka tuntut. Mereka menggugat, bahwa khatib Jum’at bukan monopoli kaum pria semata. Sudah sejauh ini pemahaman emansipasi menggayut di benak sebagian kaum muslimah. Ke depan, bisa saja mereka menggugat agar kaum wanita tidak haid dan nifas.
Gerakan emansipasi wanita yang salah kaprah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang karut-marut inilah yang dicitakan Iblis la’natullah alaih. Dengan menyusupkan gagasan-gagasan destruktif (yang merusak), Iblis berupaya menarik kaum hawa ke dalam kubangan kehancuran. Para wanita yang telah rusak pemikiran, perilaku, akidah, akhlak dan paham agamanya inilah yang disukai Iblis.
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, yang kali pertama menyerukan nilai-nilai kebebasan wanita adalah Iblis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: ‘Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (Al-A’raf: 20-21)
Maka Iblis pun memalsukan hakikat senyatanya kepada Adam dan Hawa. Memakaikan sesuatu yang haq kepada sesuatu yang batil dan mengenakan kebatilan terhadap kebenaran. Lantas, apakah buah dari bisikan dan sumpahnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’.” (Al-A’raf: 22)
Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah anugerahkan kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa, dengan (keduanya) melakukan taubat nashuha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23)
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Selanjutnya, menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, seruan (untuk menghancurkan nilai wanita) diistilahkan dengan banyak nama. Seperti Tahrirul Mar`ah (Kebebasan Wanita), yaitu yang arahnya membebaskan dan mengeluarkan muslimah dari Islam. Atau dengan nama An-Nahdhah bil Mar`ah (Kebangkitan Wanita), yaitu mengarahkan sikap membebek terhadap para wanita kafir, Barat atau Eropa. Juga dengan istilah Tathwirul Mar`ah (Pemberdayaan/Pengentasan Kaum Wanita). Istilah-istilah ini sengaja disebar kaum kafir dan orang-orang yang menyimpang dari Islam dan (istilah ini) tidak terkait dengan Islam. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/21-22)
Yahudi, sebagai kaki tangan Iblis di muka bumi ini, mengungkapkan pula tekadnya untuk menghancurkan kaum wanita melalui slogan-slogan terkait emansipasi. Ini sebagaimana terungkap dalam Protokolat Para Hakim Zionis, bahwa sesungguhnya kalimat-kalimat yang bersifat meruntuhkan (menghancurkan), yang merupakan syi’ar-syi’ar kami adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. (idem, hal. 24)
Maka, gerakan emansipasi memancangkan jargon-jargon perjuangan dengan menggunakan kebebasan wanita dan persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dengan istilah lain, memperjuangkan penyetaraan jender.
Timbul pertanyaan, mengapa kaum wanita dijadikan bidikan Yahudi (bahkan Nasrani) untuk menghancurkan masyarakat Islam? Menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, salah seorang ulama terkemuka Yaman:
Pertama, kaum muslimah umumnya lebih minimal dalam urusan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan pria. Karena tingkat pemahaman agama yang minim tersebut sehingga mudah terprovokasi untuk menerima hal-hal yang merusak.
Kedua, Yahudi dan Nasrani memandang bahwa menghancurkan wanita merupakan dasar bagi kehancuran berbagai sisi lainnya. Sebagaimana pula bila adanya perbaikan terhadap kaum wanita, maka akan membawa dampak kebaikan bagi lainnya.
Ketiga, Yahudi dan Nasrani berpendapat, apabila tersingkap wajah kaum wanita, maka akan tersingkap pula aurat lainnya bila kaum wanita itu berbaur dengan kaum pria.
Keempat, mereka memandang bahwa muslimah lebih cenderung khianat dan bertindak merusak terhadap suami. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu (no. 3330 dan 3399) dan Muslim rahimahullahu (no. 1470) dari hadits Abu Hurairah z. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
وَلَولَا حَوَّاءُ لَـمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا
“Dan seandainya bukan (karena) Hawa, seorang istri tidak akan mengkhianati suaminya.”
Pengertian hadits ini bahwa Hawa menerima ajakan Iblis sebelum bapak kita, Adam ‘alaihissalam. Kemudian Adam pun terbujuk, terjatuhlah ia pada tindak maksiat. Ini karena adanya sikap khianat para wanita, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10) [Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/147-148]
Kalau manusia mau membuka mata, walau sejenak, akan didapati pelajaran yang demikian berharga. Akan nampak secara transparan, betapa mereka yang termakan dengan gagasan-gagasan emansipasi, justru mengalami keterpurukan. Berapa banyak rumah tangga tidak terbina secara harmonis lantaran salah satu (atau bahkan keduanya) pasangan suami istri terjerat zina di tempat kerja. Berapa banyak pula lapangan kerja yang diisi kaum wanita, padahal bila diisi kaum pria akan dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, berapa juta istri dan anak-anak bisa ternafkahi bila laki-laki mendapatkan pekerjaan. Inilah fenomena sosial yang tentu saja tidak bisa lepas dari dampak gerakan emansipasi. Masih banyak lagi ketimpangan sosial akibat gerakan emansipasi yang liar dan tak terkendali.

Kerusakan-kerusakan Emansipasi

Gerakan emansipasi yang membuncah di tengah masyarakat, bila ditelisik lebih jauh akan menimbulkan berbagai kerusakan yang tidak ringan. Bagi kalangan muslimah, gerakan ini bisa merusak keyakinan agama yang dipeluknya1. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam telah menyebutkan 66 dampak kerusakan yang diakibatkan paham ini. Dalam tulisan ini hanya akan disebutkan beberapa hal saja. Di antara kerusakan-kerusakan tersebut yaitu:
1. Sebuah bentuk perang terhadap Islam.
Seruan emansipasi menyimpan perseteruan terhadap Islam. Selain itu, melecehkan, mencerca, menumbuhkan kebencian dari berbagai sisi terhadap agama. Termuat dalam gerakan emansipasi: kerusakan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan politik. Secara akibat, gerakan ini memuat seruan terhadap muslim untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sunyi dari rasa takut dan pengagungan kepada-Nya. Menumbuhkan dalam hati sebongkah pelecehan dan olok-olok terhadap kebenaran agama. Menjadikan seseorang bersikap ragu, menentang dan lari dari agama. Dari sisi ibadah, nyata sekali bahwa gerakan ini mengerdilkan, meremehkan terhadap siapa pun yang menjaga berbagai bentuk peribadatan (yang selaras syariat).
2. Merupakan bentuk seruan yang menyeleweng dari Islam. Bagaimana tidak dikatakan semacam ini, sementara gerakan tersebut melakukan penolakan terhadap sesuatu yang bersifat keimanan pada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, hukum syariat terkait pada kekhususan wanita dan pria. Maka, gerakan ini telah secara nyata melakukan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Entah dalam bentuk tindakan langsung menolak hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, atau dalam bentuk melakukan berbagai penafsiran yang menyimpang sesuai dengan kepentingan dan selera gerakan emansipasi. Bisa diambil contoh adalah lontaran-lontaran pernyataan mereka, seperti Islam mendzalimi wanita, (atau di Indonesia mencuat istilah rekonstruksi pemahaman agama, yang intinya melakukan aksi penolakan terhadap syariat Islam, pen.). Islam membelenggu wanita dengan menyuruh mereka tinggal di rumah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
3. Menyerukan permisivisme (serba boleh) dan menghalalkan segalanya. Maka bila diperhatikan kata “gender” akan diketahui bahwa makna kata itu terkait wanita dan pria. Sesungguhnya ini bentuk keserbabolehan (permisif) secara mutlak dan bebas tanpa batasan-batasan yang selaras fitrah, agama atau akal sehat. Kebebasan tanpa batas. Inilah yang dikehendaki para pegiat hak-hak wanita dan emansipasi. Mereka yang menyuarakan emansipasi tidak akan mampu menaikkan seruan mereka dari cara hidup binatang ternak. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ اْلأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى
“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Bahkan emansipasi telah menurunkan derajat mereka ke tingkatan binatang ternak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
4. Merupakan kumpulan dari berbagai macam kekufuran, baik secara keyakinan, ucapan, atau perbuatan.
5. Merupakan wujud seruan kekufuran Yahudi dan Nasrani. Karena senyatanya, gerakan emansipasi yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan kaum wanita merupakan (program) dakwah Freemasonry Zionis Yahudi, yang bersenyawa dengan orang-orang Nasrani. Ketahuilah, bahwa para penyeru emansipasi (sadar atau tidak) merupakan orang yang taat kepada Yahudi dan Nasrani. Mulai dari bentuk organisasi, pernyataan, pendidikan (training), penyebaran, dan dakwahnya. Semuanya dilakukan sebagai upaya ke arah kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman.” (Ali ‘Imran: 100)
Program mereka bertujuan mengeluarkan muslimin dari agamanya. Ini berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109)
Firman-Nya:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup.” (Al-Baqarah: 217)
6. Meniadakan (menolak) penerapan hukum-hukum syariat.
7. Membiarkan dan membebaskan perzinaan.
8. Membolehkan nikah antara muslimah dengan orang kafir (tentunya dengan dalil kebebasan wanita, pen.).
9. Tukar menukar atau berganti-ganti pasangan hidup.
10. Terlepasnya hijab Islami (jilbab yang syar’i).
11. Tersebarnya kemaksiatan secara terbuka.
12. Tasyabbuh (penyerupaan) antara laki-laki dan wanita (baik dalam cara berpakaian, perilaku dan lain-lain, pen.).

Demikian beberapa kerusakan yang ditimbulkan akibat gaung emansipasi. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 2/475-511)
Tidak sepatutnya kaum muslimin mengambil sistem nilai di luar Islam menjadi acuannya. Begitu pula seorang muslimah tidak sepantasnya menceburkan diri menyuarakan nilai-nilai emansipasi. Bila Islam dipelajari secara benar, maka akan memberikan kecukupan dan keadilan. Sebaliknya, bila Islam ditinggalkan maka kehinaan akan meliputi kehidupan kaum muslimah, bahkan masyarakat yang lebih luas.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.” (Al-Mujadilah: 5)
Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t, yang dimaksud “menentang Allah dan Rasul-Nya” adalah menyelisihi serta bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Taisirul Karimirrahman, hal. 845)
Karenanya, sudah tiba masanya bagi kita untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
1 Deislamisasi, mencerabut nilai-nilai Islam dari kaum muslimah hingga ke akar-akarnya.
(Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=611)
* * *
 
 
 SUMBER : http://kaahil.wordpress.com/2010/04/21/kumpulan-artikel-tentang-emansipasi-wanita-menurut-islam-bingkisan-untuk-mereka-yang-merayakan-hari-kartini-tanggal-21-april/
HARI SABTU JAM 10:36

       EMANSIPASI WANITA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Oleh Nur Sulistiyaningsih
Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.
Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang : Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan. Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Secara lebih rinci, Penulis akan menjelaskan mengenai hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha MEngetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan
Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ : 7, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
4. Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama dapat dilihat dalam QS Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11 QS An-Nisa : 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat secara umum. Apabila mereka baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh, apabila seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama, hukum dan syari’at Allah, niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi baru yang tangguh dan berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat : 33. Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya) :
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan ajaran islam.
Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan akhlaknya.
Para pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan pelbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti "mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara pria dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu, tetap dapat bertindak obyektif dan adil.
Perlu ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
Islam didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah : 7 yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kata Auliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa. Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.
Jadi, pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri. 

SUMBER: http://cahayatheprinces.blogspot.com/2012/01/emansipasi-wanita-dalam-perspektif.html

Jilbabku Penutup Auratku

Penyusun: Ummu Ziyad

Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Pembahasan kali ini merupakan perinciaan dari artikel-artikel sebelumnya yang membahas tentang masalah jilbab muslimah yang sesuai syari’at sekaligus jawaban atas berbagai komentar yang masuk.
Jilbab merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan oleh seorang muslimah. Ia bukanlah sekedar identitas atau menjadi hiasan semata dan juga bukan penghalang bagi seorang muslimah untuk menjalankan aktivitas kehidupannya. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dilakukan oleh setiap muslimah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa yang diwajibkan bagi setiap muslim. Ia bukanlah kewajiban terpisah dikarenakan kondisi daerah seperti dikatakan sebagian orang (karena Arab itu berdebu, panas dan sebagainya). Ia juga bukan kewajiban untuk kalangan tertentu (yang sudah naik haji atau anak pesantren).
Benar saudariku… memakai jilbab adalah kewajiban kita sebagai seorang muslimah. Dan dalam pemakaiannya kita juga harus memperhatikan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya, terdapat beberapa persyaratan dalam penggunanan jilbab yang sesuai syari’at. Semoga Allah memudahkan penulis memperjelas poin-poin yang ada dalam artikel sebelumnya.
DEFINISI JILBAB
Secara bahasa, dalam kamus al Mu’jam al Wasith 1/128, disebutkan bahwa jilbab memiliki beberapa makna, yaitu:
  1. Qomish (sejenis jubah).
  2. Kain yang menutupi seluruh badan.
  3. Khimar (kerudung).
  4. Pakaian atasan seperti milhafah (selimut).
  5. Semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.
Adapun secara istilah, berikut ini perkataan para ulama’ tentang hal ini.
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.” Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain penutup).” (Syaikh Al Bani dalam Jilbab Muslimah).
Syaikh bin Baz (dari Program Mausu’ah Fatawa Lajnah wal Imamain) berkata, “Jilbab adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan badan di atas kain (dalaman). Jadi, jilbab adalah kain yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala, wajah dan seluruh badan. Sedangkan kain untuk menutupi kepala disebut khimar. Jadi perempuan menutupi dengan jilbab, kepala, wajah dan semua badan di atas kain (dalaman).” (bin Baz, 289). Beliau juga mengatakan, “Jilbab adalah rida’ (selendang) yang dipakai di atas khimar (kerudung) seperti abaya (pakaian wanita Saudi).” (bin Baz, 214). Di tempat yang lain beliau mengatakan, “Jilbab adalah kain yang diletakkan seorang perempuan di atas kepala dan badannnya untuk menutupi wajah dan badan, sebagai pakaian tambahan untuk pakaian yang biasa (dipakai di rumah).” (bin Baz, 746). Beliau juga berkata, “Jilbab adalah semua kain yang dipakai seorang perempuan untuk menutupi badan. Kain ini dipakai setelah memakai dar’un (sejenis jubah) dan khimar (kerudung kepala) dengan tujuan menutupi tempat-tempat perhiasan baik asli (baca: aurat) ataupun buatan (misal, kalung, anting-anting, dll).” (bin Baz, 313).
Dalam artikel sebelumnya, terdapat pertanyaan apa beda antara jilbab dengan hijab. Syaikh Al Bani rahimahullah mengatakan, “Setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang tampak.” Sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau meghalangi dirinya, baik berupa tembok, sket ataupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 53, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diberi izin… dan apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepda mereka (para istri Nabi), maka mintalah dari balik hijab…”
SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)
Tentang ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sehingga membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum penggunaan cadar bagi seorang muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat pada artikel yang sangat bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar di http://www.muslim.or.id.
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka, sangat menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah penggunaan khimar yang merupakan bagian dari syari’at penggunaan jilbab sebagaimana terdapat dalam ayat selanjutnya dalam surat An Nuur ayat 31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dadanya.”
Khumur merupakan jamak dari kata khimar yang berarti sesuatu yang dipakai untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar ini sering dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai jilbab saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat dalam surat Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni agar mereka melabuhkan jilbabnya. Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’ (kudung) di atas khimar. Seorang muslimah tidak halal untuk terlihat oleh laki-laki asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di atas khimarnya yang dapat menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini juga terdapat dalam atsar dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab dan khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih berdasarkan syarat Muslim)
Namun terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak ingin kawin sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya, sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal serupa juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi). Dapat pula diketahui di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan sebelum jilbab adalah menutupi dada. Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan memakai jilbab jika hanya sampai sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan bagi saudariku sekalian.
Berikut ini contoh tampilan khimar dan jilbab. Khimar dikenakan menutupi dada. Setelah itu baru dikenakan jilbab di atasnya. (warna, bentuk dan panjang pakaian dalam gambar hanyalah sebagai contoh).
Khimar
Jilbab
Catatan penting lainnya dari poin ini adalah terdapat anggapan bahwa pakaian wanita yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah terusan (longdress), sehingga ada sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk menyambung-nyambung baju dan rok agar dikatakan memakai pakaian longdress.
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini, yaitu apakah jilbab harus “terusan” atau “potongan” (ada pakaian atasan dan rok bawahan). Maka jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan ataukah potongan, keduanya tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa menutupi sebagaimana yang diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota (Fatawa Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791, Maktabah Syamilah). Dengan demikian, jelaslah tentang tidak benarnya anggapan sebagian muslimah yang mempersyaratkan jubah terusan (longdress) bagi pakaian muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…” Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena poin ini terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan berbagai pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun, terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak mengenakan jilbab berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari Ibrahim An Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
“Bahwa ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka mengenakan mantel-mantel berwarna merah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Catatan: Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria, terdapat hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna merah.
Dengan demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan adalah berdasarkan ‘urf (kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi). Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian pada suatu masyarakat maka itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya demikian keras sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa besar. Betapa banyak wanita muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun pada hakekatnya telanjang. Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan kita kenakan juga harus diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr, “Bahan yang tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan tidak dapat menyembunyikannya.” Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal).” Bahkan kita ketahui, bahan yang tipis terkadang lebih mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga sekalipun tidak transparan, bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
4. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tubuh.” (HR. Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai rok, namun ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap memperlihatkan bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk memakai lapisan dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki panjang, karena ini tidak cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama untuk para saudariku yang sering tersingkap roknya ketika menaiki motor sehingga terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga menjadi jawaban bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana dengan alasan longgar dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita kenakan. Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya fleksibel. Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel lagi jika memang sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang ketat/span). Kalaupun rok tidak fleksibel (walaupun pada asalnya fleksibel) apakah kita menganggap logika kita (yang mengatakan celana lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang memakai wewangian ketika keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها، فهيا زانِيةٌٍ
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. Tirmidzi)
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat isya’.” (HR. Muslim)
Syaikh Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang digunakan pada badan, ada pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan tentang penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan) yang ini lebih banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk pakaian. Maka hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan segala jenis bahan yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang kita kenakan keluar, semisal produk-produk pelicin pakaian yang disemprotkan untuk menghaluskan dan mewangikan pakaian (bahkan pada kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut sangat menyengat dan mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan produk yang memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat pakaian menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita menyerupai laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja). Salah satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah pakaian adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.” Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa kepada maksiat lain, yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat dua landasan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kita untuk menghindari penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
  1. Pakaian tersebut membedakan antara pria dan wanita.
  2. Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at ketika menghadapi yang bukan mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan antara pria dan wanita namun tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak membedakan dengan pakaian pria. Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas lagi adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Kawakib yang dikutip oleh syaikh Al Bani, yang penulis ringkas menjadi poin-poin sebagai berikut untuk memudahkan pemahaman,
  1. Prinsipnya bukan semata-mata apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
  2. Juga bukan pakaian tertentu yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Jenis pakaian yang digunakan sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak, maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya, yang membedakan antara jenis pakaian pria dan wanita kembali kepada apa yang sesuai dengan apa yang diperintahkan bagi pria dan apa yang diperintahkan bagi kaum wanita. Namun yang perlu diingat, pelarangan ini adalah dalam hal-hal yang tidak sesuai fitrahnya. Syaikh Muhammad bin Abu Jumrah rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al Bani mengatakan, “Yang dilarang adalah masalah pakaian, gerak-gerik dan lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara kebaikan.”
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya menjadi terasa berat untuk dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah terpengaruh dengan pakaian wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka (orang kafir) suka menampakkan bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang transparan, tidak peduli dengan penyerupaan pakaian wanita dengan pria. Bahkan terkadang mereka mendesain pakaian untuk wanita maskulin! Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan dan meminta pertolongan untuk dijauhkan dari kecintaan kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firman Allah, ‘Janganlah mereka seperti…’ merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka….” (Al Iqtidha, dikutip oleh Syaikh Al Bani)
8. Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api naar.”
Adapun libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas) adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan dengan tujuan riya. (Jilbab Muslimah)
Namun bukan berarti di sini seseorang tidak boleh memakai pakaian yang baik, atau bernilai mahal. Karena pengharaman di sini sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani adalah berkaitan dengan keinginan meraih popularitas. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang telah Allah berikan padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan yang diberikan oleh-Nya ada pada seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)
PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan penjelasan dari poin-poin tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai syari’at. Saudariku… janganlah kita terpedaya dengan segala aktifitas dan perkataan orang yang menjadikan seseorang cenderung merasa tidak mungkin untuk menggunakan jilbab yang sesuai syari’at. Ingatlah, bahwa sesungguhnya tidak ada teman di hari akhir yang mau menanggung dosa yang kita lakukan. Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan ketika menjalankan segala ibadah yang telah disyari’atkan. Semoga artikel ini juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan komentar yang masuk pada artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
  1. Majalah Al Furqon, edisi 12 tahun III
  2. Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
  3. Maktabah Syamilah
***
Artikel http://www.muslimah.or.id
About these ads
sumber :  http://aslibumiayu.wordpress.com/2012/07/31/seperti-apakah-jilbab-yang-dibenarkan-dalam-islam/